Selasa, 15 Februari 2011

IMAN DAN AMAL SALEH

Saya mencari-cari kalau ada pembahasan tentang hubungan antara 'Iman dan Amal Saleh' dari sisi ajaran Islam, karena kelihatannya pembahasan soal ini muncul beberapa kali dalam diskusi di forum ini, kebanyakan terkait dengan konsep ajaran Kristen. Subhanallah...saya justru menemukannya dalam website kaum Muslim Syiah dan menurut saya sangat bagus untuk memenuhi 'dahaga' pengetahuan kita terkait soal tersebut :

Pengaruh Iman dan Kufur pada Kebahagiaan dan Kesengsaraan Abadi

Apakah iman dan amal saleh merupakan dua faktor yang masing-masing secara mandiri dapat mendatangkan kebahagiaan abadi? Ataukah kebahagiaan ini merupakan hasil perkalian dari kedua-duanya sekaligus, dimana salah satunya tidak berarti apa-apa dalam mendatangkan kebahagiaan bila terlepas dari yang lainnya? Pertanyaan senada juga bisa diangat mengenai kekufuran (lawan iman) dan maksiat. Yakni, apakah masing-masing kekufuran dan maksiat merupakan dua faktor yang secara terpisah dapat menyebabkan siksa abadi? Ataukah siksa abadi ini terjadi akibat gabungan dua faktor tersebut?. Lalu, berdasarkan pertanyaan kedua, jika manusia hanya memenuhi iman saja, atau amal saleh saja, maka apakah akibat dan resiko yang kelak akan ia hadapi? Begitu pula jika seseorang bersikap kekufuran saja, atau ia hanya melakukan maksiat, apakah yang akan terjadi ke atas dirinya? Kemudian apabila seorang mukmin melakukan dosa-dosa yang begitu banyak, atau seorang kafir melakukan kebajikan yang sangat banyak, apakah kelak ia akan bernasib bahagia ataukah bernasib celaka? Pada kedua bentuk pertanyaan terakhir, apabila seseorang hidup pada suatu saat dalam keadaan konsisten pada keimanan dan amal saleh, dan pada saat lain ia mengambil sikap kufur atau berbuat maksiat, apakah akhir hidup yang akan dijumpainya?

Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas telah dibahas sejak abad pertama Hijriah. Di dalam masyarakat Islam, kaum Khawarij berkeyakinan bahwa melakukan maksiat merupakan faktor yang cukup dan mandiri dalam mendatangkan kesengsaraan abadi. Menurut mereka, perbuatan maksiat malah akan mengakibatkan kekufuran dan kemurtadan. Kelompok lain seperti Murji'ah berkeyakinan bahwa hanya imanlah yang akan membentuk kebahagiaan abadi. Adapun perbuatan maksiat sama sekali tidak mengancam kebahagiaan seorang mukmin. Yang perlu dikatakan di antara dua keyakinan ekstrim itu ialah bahwa tidak setiap maksiat itu menyebabkan kekufuran dan kesengsaraan abadi. Meskipun bisa saja akibat menumpuknya dosa, maksiat tersebut akan menyebabkan tercabutnya iman. Dari sisi lain, tidak benar pula jika dinyatakan bahwa sekedar iman akan mengakibatkan diampuninya segala dosa dan maksiatnya, dan dengan hanya imanlah maksiat itu tidak berarti apa-apa.

Iman merupakan kondisi hati dan jiwa yang timbul dari pengetahuan tentang sesuatu dan kecondongan kepadanya. Iman itu bisa bertambah, bisa berkurang, tergantung pada lemah atau kuatnya kedua faktor tersebut, yaitu pengetahuan dan kecondongan. Seseorang yang tidak mengetahui atau menduga adanya sesuatu, ia tidak akan beriman kepadanya. Kendati demikian, pengetahuan tidaklah cukup untuk membangun keimanan di dalam diri seseorang, karena sangat mungkin apa yang diketahuinya atau konsekuensi-konsekuensinya bertentangan dengan keinginan dan kecondongannya, yaitu tatkala ia condong kepada apa yang bertentangan dengan pengetahuannya. Maka itu, ia tidak bersungguh-sungguh dan komit pada konsekuensi-konsekuensi pengetahuannya. Bisa jadi ia malah memutuskan untuk melakukan tindakan yang melawan pengetahuannya sendiri. Sebagaimana firman Allah SWT. mengenai raja-raja Fir'aun:

Mereka itu mengingkarinya padahal hati mereka meyakininya karena kezaliman dan merasa tinggi." (QS. An-Naml:14)


Dalam menjawab Fir'aun, Musa as mengatakan,

Sesungguhnya engkau telah mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan yang memelihara langit dan bumi. (QS. Al-Isra':102)

Sementara Fir'aun tidak juga beriman. Kepada rakyat ia berkata,

Aku tidak mengetahui adanya Tuhan selain dari aku sendiri.. (QS. Al-Qashas: 38)


Fir'aun hanya beriman pada saat-saat akan tenggelam di lautan. Ketika itu ia menyatakan,

Aku beriman bahwasanya tidak ada tuhan selain Tuhan yang diimani oleh Bani Israil.. (QS. Yunus: 90).


Telah kita ketahui bahwa "iman kepepet" seperti ini tidak akan diterima, walaupun bisa saja diberi nama iman. Dengan demikian, iman itu terkait erat dengan kecondongan hati dan usaha bebas. Berbeda dengan pengetahuan yang dapat diperoleh tanpa adanya kebebasan di hadapan objek (maklum). Dari sinilah kita dapat menegaskan bahwa iman itu adalah usaha hati secara bebas. Dan, jika kita perluas pengertian usaha dan perbuatan sampai mencakup perbuatan-perbuatan hati, kita dapat menganggap iman itu sebagai wujud konkret dari sebuah usaha dan perbuatan manusawi. Adapun kata al-Kufr (kekufuran), terkadang digunakan untuk menerangkan tidak adanya karakter iman. Yakni bahwa kufur itu berati ketiadaan iman, apakah ketiadaan iman itu akibat keraguan, jahl basith (kebodohan sederhana), atau karena jahl murakkab (kebodohan rangkap), atau pun timbul dari kecondongan yang menyimpang dari iman secara sengaja dan angkuh. Terkadang pula kufur itu digunakan dalam arti yang terakhir ini, yaitu kondisi keangkuhan dan pembangkangan. Atas dasar ini, kufur merupakan perkara konkret yang berlawanan dengan iman.

Dari ayat-ayat Al-Qur'an dan riwayat-riwayat, dapat kita pahami bahwa batas minimal dari iman yang mesti dipenuhi oleh seseorang untuk meraih kebahagiaan yang abadi ialah iman kepada Allah Yang Esa, pahala dan siksa akhirat, dan iman kepada kebenaran apa yang dibawa oleh para nabi as konsekuensi dari iman ini adalah kesungguhan dan tekad secara global untuk mengamalkan ajaran-ajaran Ilahi dan hukum-hukum-Nya. Adapun derajat iman yang tinggi khusus bagi para nabi dan wali Allah SWT. Sementara, batas awal dari kekufuran ialah mengingkari Tauhid, Kenabian, Ma'ad, atau ragu terhadap kejadiannya, atau mengingkari pesan dan hukum para nabi yang sudah diketahui kedatangannya dari sisi Allah SWT. Sedangkan batas terbawah dari kekufuran adalah pengingkaran secara terang-terangan terhadap suatu perkara setelah menyadari kebenarannya, dan bertekad untuk memerangi agama yang hak. Dari sinilah syirik (mengingkari tauhid) termasuk salah satu tipe konkret dari kekufuran. Adapun nifaq ialah kekufuran di dalam batin dan secara rahasia yang dibarengi dengan penipuan dan pura-pura muslim. Munafik (kafir yang laten) itu lebih busuk dari seluruh tipe kekufuran sebagaimana firman Allah SWT,

Sesungguhnya orang-orang munafik itu berada di neraka yang paling bawah. (QS. An-Nisa': 145)


Yang perlu kami tekankan di sini adalah bahwa Islam atau kufur yang dibahas dalam pelajaran fikih dan yang menjadi subjek sebagian hukum-hukum Islam seperti: kesucian binatang sembelihan dan kehalalannya, bolehnya menikah dan berlaku tidaknya warisan, semua itu tidak berkaitan dengan iman atau kufur yang tengah kita bahas di dalam Usuluddin ini. Karena, bisa jadi seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat lalu ia wajib menjalankan hukum-hukum fikih Islam, tetapi hatinya tidak beriman pada kandungan tauhid, kenabian dan konsekuensi-konsekuensinya.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa jika seseorang tidak mampu mengenal Ushuluddin, misalnya ia mengidap penyakit gila, tidak waras, atau ia tidak dapat mengetahui agama yang hak lantaran kondisi-kondisi yang melingkupinya, orang seperti ini akan diampuni sesuai dengan kadar uzur dan kelemahannya. Tetapi, jika ia memiliki kesiapan untuk mencari kebenaran, lalu ia lalai dan teledor sehingga tetap berada dalam keraguan, atau ia mengingkari Ushuluddin dan hal-hal yang gamblang dan penting dalam agama tanpa dalil yang jelas, tentu ia tidak akan dimaafkan, dan kelak akan diganjar siksa yang abadi.

Berdasarkan kenyataan bahwa kesempurnaan hakiki manusia itu terwujud dalam qurb Ilahi, dan bahwa terjerumusnya manusia akibat keterjauhan dari Allah SWT, dapat kita nyatakan bahwa iman kepada Allah SWT, kepada pengaturan-Nya secara cipta dan tinta yang menuntut keyakinan terhadap Kenabian dan Ma'ad, akan membentuk kesempurnaan hakiki seseorang. Adapun perbuatan yang diridai Allah SWT lebih merupakan cabang dan dan daun sebuah pokok, dan buah hasilnya adalah kebahagiaan abadi yang akan dijumpai di hari akhirat kelak. Dengan demikian, apabila seseorang tidak menyemaikan benih keimanan di dalam hatinya, dan tidak menanamkan pokok yang berkah ini, atau ia malah menaburkan benih-benih kekufuran dan maksiat yang beracun di dalam hatinya, sungguh ia telah menyia-nyiakan nikmat Ilahi yang diberikan kepadanya. Bahkan, ia menanam pohon yang mendatangkan buah zaqum jahanam. Orang yang menyimpang seperti ini tidak mendapatkan jalan kebahagian abadi yang dapat ditempuh. Sementara amal kebajikannya tidak melampaui batas-batas dunia ini.

Mengapa demikian? Pada hakikatnya, setiap perbuatan dan usaha bebas merupakan proses dan gerak ruh menuju satu tujuan yang diinginkan oleh pelakunya. Maka, seseorang yang yang tidak percaya akan alam akhirat yang abadi dan derajat qurb Ilahi, bagaimana ia akan dapat menyadari dan menatap akhirat dan Qurb Ilahi itu sebagai tujuannya, dan bagaimana ia akan mengarahkan usaha dan aktifitasnya itu searah dengan tujuan tersebut? Tentu orang seperti ini tidak mempunyai harapan untuk mendapatkan pahala abadi dari Allah SWT. Maksimal, amal kebajikan yang dilakukan oleh orang-orang kafir hanya berpengaruh dalam meringankan siksa mereka saja. Karena, bisa jadi kebajikan itu akan melemahkan semangat pengingkaran dan penyembahan terhadap hawa nafsu.

Kita amati bahwa Al-Qur'an sangat menekankan adanya pengaruh dasari dan positif pada iman dalam menurunkan kebahagiaan abadi untuk seseorang. Di samping itu, Al-Qur'an menyebutkan puluhan ayat mengenai amal saleh setelah menyebutkan iman dalam satu susunan kalimat. Sebagian ayat menekankan bahwa iman itu merupakan syarat utama sehingga amal-amal saleh berperan dalam menciptakan kebahagiaan abadi. Allah SWT berfirman,

Dan barang siapa melakukan amal-amal saleh baik ia itu laki-laki ataupun wanita dan ia orang yang beriman, maka kelak ia akan masuk surga. (QS. An-Nisa': 124)


Ini dari satu sudut. Dari sudut lain, kita melihat bagaimana Al-Qur'an menyebutkan bahwa Allah SWT telah menyiapkan jahanam dan siksa abadi bagi orang-orang kafir, dan menilai amal perbuatan mereka itu batil dan tidak berarti sama sekali. Al-Qur'an mengumpamakan amal mereka itu bagaikan debu-debu yang beterbangan ketika tertiup angin kencang, sehingga tidak lagi tersisa sedikit pun. Allah SWT befirman,

Orang-orang kafir kepada Tuhannya, amal ibadah mereka laksana debu-debu yang ditiup angin kencang pada suatu hari dimana angin bertiup kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan di dunia ini. Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh." (QS. Ibrahim: 18)

Dan Kami ajukan segala amal yang telah mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu bagaikan debu-debu yang beterbangan." (QS. Al-Furqan: 23)


Di ayat lain, Al-Qur'an mengumpamakan amal kebajikan mereka bagaikan fatamorgana yang tampak dari kejauhan oleh mereka yang sedang kehausan, namun setelah didekati mereka tidak mendapatkan apa-apa sama sekali.

Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka itu laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga. Akan tetapi ketika ia mendatangi air itu ia tidak mendapati apa-apa sama sekali. Dan ia mendapati Allah disisinya. Lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitunganya. (QS. An-Nur: 39)

Kemudian Allah SWT berfirman, Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam yang diliputi oleh ombak, yang diatasnya ombak pula, diatasnya lagi awan; gelap gulita yang tindih menindih, apabila ia megeluarkan tangannya, ia tidak dapat melihatnya. Dan barang siapa yang tidak diberi cahaya petunjuk oleh Allah maka ia tidak mempunyai cahaya sedikitpun. (QS. An-Nur: 40)


Terdapat ayat-ayat yang menegaskan bahwa hasil perbuatan para penuntut dunia itu akan diberikan di alam dunia ini saja.Sementara di akhirat kelak, mereka tidak mendapat apa-apa, karena perbuatan mereka tidak lagi berarti bagi mereka sendiri. Allah SWT berfirman,

Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang mereka telah usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.? (QS. Huud: 15-16)


Hubungan Imbal balik antara Iman dan Amal

Telah kita ketahui bahwa ada dua faktor utama sepanjang usaha meraih kebahagiaan dan kesengsaraan abadi, yaitu iman dan kufur. Hanya iman yang kokoh dan istiqamahlah (konsisten) yang menjamin kebahagiaan abadi, walaupun perbuatan dosa itu mengakibatkan sebagian siksa. Dari sisi lain, kekufuran yang terus menerus mengakibatkan kesengsaraan abadi. Dengan kekufuran, tidak ada amal kebaikan apapun yang berpengaruh pada pencapaian kebahagiaan abadi. Juga telah kita ketahui bahwa iman dan kufur itu bisa bertambah, bisa juga berkurang. Dan sangat mungkin bertumpuknya dosa itu menyebabkan hilangnya iman dari pelakunya. Demikian pula, amal-amal kebaikan dapat menyebabkan lemahnya akar-akar kekufuran, bahkan mungkin dapat membuka jalan untuk meraih iman.

Perlu kami ulang bahwa iman adalah kondisi jiwa yang timbul atas dasar pengetahuan dan kecenderungan. Iman ini menuntut sang mukmin agar bertekad dan berkehendak secara global untuk komitmen pada konsekuensi-konsekuensinya, juga menuntut agar melakukan perbuatan yang sesuai dengan imannya. Oleh karena itu, seseorang yang mengetahui hakikat sesuatu, namun bermaksud untuk tidak mengamalkan konsekuensi dari pengetahuan itu, sebenarnya ia belum beriman kepada sesuatu itu. Begitu pula orang yang ragu untuk mengamalkannya. Allah SWT berfirman,

Orang-orang Arab Badui itu berkata, "Kami telah beriman". Katakanlah kepada mereka, "Kalian belum beriman, akan tetapi katakanlah bahwa kami telah tunduk, karena iman itu belum masuk ke dalam hati kalian.'" (QS. Al-Hujurat: 14).


Iman yang hakiki itu bertingkat-tingkat. Hanya, tidak setiap tingkat akan selalu mendesak pemiliknya untuk melakukan konsekuensi praktisnya. Karena iman yang lemah, sebagian dorongan hawa-nafsu dan nafsu amarah-nya menggiring dirinya kepada maksiat, meski tidak sampai membuatnya senantiasa berbuat maksiat dan melanggar seluruh konsekuensi iman tersebut. Tentunya, semakin kuat dan sempurna iman seseorang, semakin besar pengaruhnya untuk melakukan amal perbuatan yang sesuai dengan keimanannya.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya, iman itu menuntut suatu perilaku yang menjadi konsekuensinya. Dan, kadar pengaruh iman itu tergantung kepada kuat-lemahnya iman tersebut. Juga, tekad dan kehendak seseorang itu dapat menentukan dirinya untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan yang dituntut oleh imannya.

Ada kalanya, usaha bebas itu baik dan sesuai dengan keimanan, ada kalanya tidak baik dan bertentangan dengan arah keimanan. Usaha baik akan berpengaruh positif dalam memperkokoh iman dan menerangi hati. Sedangkan usaha buruk akan menyebabkan lemahnya iman dan gelapnya hati. Oleh karena itu, usaha-usaha baik seorang mukmin, sebagaimana muncul atas dasar keimanannya, pada gilirannya akan bertambah dan meningkat karena kuat dan mapannya keimanan tersebut, akan membuka jalan, serta akan mendorongnya untuk melakukan usaha-usaha baik lainnya. Allah SWT berfirman,

Kepada-Nyalah kalimat-kalimat mulia itu naik, sedang amal saleh itu mengangkatnya. (QS. Fathir: 10).


Juga di tempat lain, Al-Qur'an menekankan bahwa orang-orang yang saleh itu senantiasa bertambah iman, cahaya dan hidayah di dalam jiwa-jiwa mereka. Dari sisi lain, seseorang yang membiarkan hasratnya bertentangan dengan tuntutan imannya dan mendorongnya untuk melakukan cara-cara yang buruk, sementara kekuatan imannya tidak dapat membentung dorongan buruk tersebut, bisa jadi imannya menjadi semakin lemah, sedangkan peluang untuk melakukan dan mengulangi perbuatan buruk semakin terbuka baginya. Apabila kondisi semacam itu berlangsung terus pada diri seseorang, akan menyebabkannya melakukan dosa-dosa besar dan mengulanginya, sehingga secara berangsur dosa-dosa itu akan menyeretnya kepada kekerdilan dan kehinaan yang lebih dalam lagi, sampai akar imannya terancam usang dan berubah menjadi kekufuran dan kemunafikan. Pada ayat berikut ini Al-Qur'an menceritakan orang-orang yang perjalanannya itu membelot ke dalam kemunafikan:

Maka Allah menurunkan kemunafikan pada hati mereka sampai saatnya mereka menemui Allah, karena mereka itu telah mengingkari apa yang telah mereka ikrarkan kepada Allah dan karena mereka itu selalu berdusta. (QS. At-Taubah: 77)

Kemudian, akibat orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu adalah siksa yang lebih buruk, karena mereka itu telah mendustakan ayat-ayat Allah dan mereka selalu memperolok-oloknya. (QS. Ar-Rum: 10)


Dengan memperhatikan adanya hubungan imbal-balik antara iman dan amal, serta pengaruhnya dalam meraih kebahagiaan seseorang, kita dapat mengumpamakan kehidupan yang bahagia dengan sebuah pohon yang akar-akarnya adalah iman kepada Allah Yang Esa, kepada rasul, risalah dan syariatnya, kepada Hari Kebangkitan, pahala dan siksa Ilahi. Adapun pokoknya adalah kehendak dan tekad yang kuat untuk mengamalkan segala konsekuensi yang tumbuh dari akar-akar iman tersebut. Sedang dahan-ranting dan dunnya adalah amal-amal saleh tumbuh dari akar-akar yang sama melalui pokok tersebut. Maka, buah perkalian akar, pokok, dahan dan daun demikian ini adalah kebahagiaan yang abadi. Pohon yang tidak mempunyai akar tidak akan menumbuhkan dahan dan daun, serta tidak akan menghasilkan buah yang diharapkan. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa keberadaan akar itu tidak selalunya melazimkan adanya dahan dan dedaunan yang sesuai, atau menghasilkan buah yang diharapkan. Mungkin saja dahan dan daun-daun sebuah pohon itu tidak tumbuh lantaran faktor-faktor lingkungan yang tidak mendukung pertumbuhannya, sehingga ia tercemari oleh berbagai macam hama. Bahkan, sangat mungkin faktor-faktor itu membuat pohon tersebut menjadi kering lalu mati. Tentu, tidak satu buah pun yang bisa diharapkan darinya. Begitu pula, apabila dahan, cabang dan pokok, atau bahkan akar pohon itu dipupuk secara tidak benar, malah mengakibatkan berubahnya pohon tersebut menjadi jenis lain. Inilah perumpamaan berubahnya iman menjadi kekufuran.

Alhasil, dapat dikatakan bahwa iman kepada hal-hal tersebut di atas itu merupakan faktor utama yang menentukan kebahagiaan hakiki seseorang. Hanya saja, sempurnanya pengaruh positif faktor ini amat tergantung kepada bahan-bahan pupuk dan konsumsi semestinya; yakni melakukan amal-amal saleh, dan merawatnya sehingga terlindung dari berbagai penyakit dan bahan-bahan pupuk yang membahayakan, dengan cara menjauhi maksiat. Demikian pula, meninggalkan kewajiban dan dan melakukan larangan dapat melemahkan akar keimanan, bahkan bisa membuatnya kering. Atau, percaya akan akidah-akidah yang sesat dan mazhab-mazhab yang menyimpang dapat mengubah esensi keimanan seorang mukmin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar